Selasa, 27 Januari 2015

Cerpen bertema Kemanusiaan



"Secercah Senyuman"

Selangkah demi selangkah kan kulalui dengan sebuah senyuman. Pagi  ini aku masuk sekolah seperti biasanya, masih dengan senyuman ayah, mama, dan kakak ketika berpamitan.
“Woyyy! Temen-temen lihat nih! Aku punya video  K-pop baru lo, lihat nih ada BTS, Super Junior, EXO, masih banyak lagi deh!” kata Ita. Ita salah satu sahabatku yang gila K-Pop alias penggemar korean pop .
Apalagi yang namanya Bunga, sahbatku yang koleksi barang-barang K-Popnya waw nggak diragukan lagi.
“Bunga, itu tas apa gantungan kunci sih, kok banyak banget gantungan kuncinya, aduuhhh.... gambarnya artis-artis Korea lagi, capek deh”. Ocehku padanya.
Waktu itu ada konser di Jakarta, dari ribuan penggemarnya dia yang pertama kali mendapatkan tiket dengan harga yang lumayan mahal, bagi kantong para siswa yang sekarang ini dilanda kenaikan BBM.
“Memang si Bunga, kalau masalah K-Pop aja nomor satu, giliran pelajaran...hemmhhh, nggak tau deh!”, gumamku padanya.
 “Nuha, sini deh! Kamu tahu nggak kemarin tuh  aku kan lihat TV , aku seneng banget ehh, tenyata novel yang kubaca ditayangin di TV, haduuh,, ceritanya bagus banget so sweet bingiiitz!!”, ujar Hima pada Nuha.
Dalam hati aku berkata, “ Hidihhh,  kutu buku sih bagus tapi yang dibaca jangan cuma komik sama novel doang kelles, pelajran juga.”
Ya memang begitu sahabat-sahabatku mereka unik-unik, mereka orangnya asik nggak ngejenuhin. Walaupun terkadang suka aneh-aneh, tapi aku sayang pada mereka.
                                                                        ***


Kami semua terdiam saat salah seorang guru memasuki ruang kelas kami.
“ Assalamu’alaikum.., maaf anak-anak hari ini bu Lia akan pergi ke Depag merapatkan suatu hal, oleh karena itu Ibu beri tugas besok istirahat pertama tolong dikumpulkan di meja Ibu,  paham anak-anak?” kata bu Lia.
Dengan kompak kami menjawab “ Paham, buuuu Liiiiaaaa....!!”
 Inilah yang tidak aku suka, beliau memberi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam waktu sehari, jadi besok harus dikumpulkan dan kebetulan aku sekelompok dengan Nuha.
“Hahhh,, Untung aku seklompok dengan Nuha karena dia tidak banyak tau hal tentang K-Pop, mungkin saja jika aku sekelompok dengan Ita ataupun Bunga, pasti mereka membicarakan tentang K-Pop aja.”, aku menghela napas lega.
                                                            ***
 “Wi, gimana tugas kita, besok harus dikumpulkan ke bu Lia, padahal tugasnya buaaanyaaak banget.” , kata Nuha padaku.
“Ok, gini aja gimana kalau kita ngerjainnya itu di rumahku, kan rumahku nggak jauh dari sini, kalau rumahmu kan jauh dari sekolahan.”, kataku.
“Emmh, gimana ya??? Ya coba nanti ku tanyakan pada orang tuaku dulu, nanti kalau boleh aku telpon kamu.”, Nuha masih bingung.
Teeetttttt, teeetttt, tetttt.. belpun berbunyi, pertanda bahwa waktunya pulang. Akupun  segera pulang. Sesampainya di rumah aku langsung istirahat, sambil membuka buku tugas .
“Kriiiiiiiiing.... hallo..Assalamu’alaikum, Emhhh, kamu bisa menginap di rumahku, ok deh aku tunggu di rumah ya.”, kataku pada Nuha.
Beberapa jam kemudian Nuha datang bersama dengan ayahnya, beliau berpesan padaku, “Nak, nanti kalau ada apa-apa telpon bapak, saya langsung pulang dulu titip Nuha ya, kerjain tugasnya yang sungguh-sunguh biar cepat selesai.”
“Iya pak, terima kasih hati-hati ya pak.”, jawabku pada ayah Nuha.
                                                            ***

Setelah menyelesaikan tugas yang lumayan banyak kami terlelap dalam kehangatan derasnya hujan malam sejak sore tadi.
“Kretek...kretek Bruuuuuughhh.,,! Aaaaaa.... tidakk!!”, jeritan Nuha.
Ternyata rizki kami ditunda, musibah melanda desaku. Bingung, ketegangan, kalut, kesedihan tumpah menjadi satu. Tanah dari longsoran gunung di desaku menimbun dan menyelimuti rumah-rumah disekitarnnya. Aku tak pernah mengira kejadian ini tersurat untuk kami, hingga pagipun datang. Mata yang terpejam sejenak, kini terbuka kembali.
“Tolong tolong tolong aku, badanku tertimbun tanah tidak bisa keluar. Ya Allah tolong hamba ya Allah,  ayah, ibu, kakak dimana kalian tolong aku”, teriakku.
Tak satu orangpun ku lihat. Tiba-tiba ada suara teriakan yang memanggil namaku.
“ Wi.. Dewi, Wi.. kamu dimana, apakah kamu mendengarku”? teriak Nuha.
“Nuha..aku disini, tolong aku..! aku tertimpa rerutuhan rumah, tolong aku..!” teriakku dengan lantang.
“Sebentar, bertahanlah aku akan segara memolongmu!”, kata Nuha.
Dia menghampiri dan menolongku, kulihat badan Nuha lecet-lecet serta luka memar pada tangannya.
“Apakah kamu baik-baik saja Wi ? kan ku coba singkirkan reruntuhan ini dari tubuhmu”.
Setelah aku berhasil keluar dari reruntuhan tersebut, kamipun bergegas mencari keluargaku.
Akibat longsor yang terjadi aku kehilangan keluargaku. Ayah dan Ibuku tertimpa reruntuhan bangunan, sedangkan Kakakku hilang tertimbun tanah dan belum ditemukan keberadaannya. Mengetahui itu semua aku merasa seperti sedang bermimpi karena  tidak percaya telah kehilangan orang-orang yang sangat aku sayang secepat ini. Rasanya baru kemarin aku masih bisa merasakan lezatnya masakan seorang ibu. Mendengar cerita-cerita seru dari ayah. Mendengar ocehan kakak yang super cerewet, tak kusangka butiran bening jatuh membasahi pipiku, aku hanya bisa meronta-ronta histeris saat kudengar kabar bahwa orang tua dan kakakku yang tertimpa reruntuhan bangunan serta tanah diperkirakan tak bernyawa lagi, saat itu kulihat Nuha berusaha menenangkanku. Nuha memintaku untuk tinggal bersama keluarganya untuk sementara, karena kota tempat tinggalnya cukup jauh dari rumahku yang terkena bencana alam, jadi akan lebih aman.
Sorenya, aku kembali menangis ketika mengingat kejadian yang aku alami hari ini.
“Aku tak percaya ini semua terjadi padaku, tapi apa daya aku harus menerima takdir dari Allah”, kataku sambil terisak.
Aku termenung membayangkan bagaimana aku tertawa bersama dengan keluargaku dulu. Aku tegarkan hatiku dan kucoba menguatkan hatiku untuk tidak menyerah.
“Tidak! Aku tidak boleh terus begini! Aku percaya Allah tidak akan menguji manusia lebih dari batas kemampuannya dan ini semua adalah yang terbaik untukku.”, tegasku dalam hati.
Aku hapus air mata yang membasahi pipiku. Aku segera keluar dari kamar baruku itu dan menuju ketempat makan keluarga Nuha.Sungguh aku rindu ketika aku makan dimeja makan bersama keluargaku. Lamunanku terbuyahkan oleh suara lembut yang tiba-tiba memanggilku.
“Dewi, bagaimana keadaanmu sekarang?”,tanya ibu Nuha dengan suaranya yang lembut.
“Alhamdulillah, sekarang sudah mendingan”, kataku dengan senyuman yang agak kupaksa.
“Makanlah yang banyak agar kau cepat sembuh, jangan kau bersedih Tante yakin ayah dan ibumu akan sedih juga jika melihatmu seperti ini. Dan kamu boleh memanggil Tante dengan Ibu, karena kami sudah menggap kamu sebagai keluarga kami juga.”, kata ibu Nuha.
“Iya Dewi kamu juga boleh panggil Om sebagai Ayah..”, tambah ayah Nuha.
“Terimakasih Om, Tante atas bantuan..”, belum selesai ku berucap.
“Sudah Om bilang panggil saja Ayah...”, ayah Nuha menyela.
“Ehm.. iya A..a..ayah, I..i..ibu terimakasih atas semua bantuan yang telah Aaayah dan Iiibu berikan kepada saya.”, kataku dengan senyuman bahagia karena telah mendapatkan keluarga baru yang benar-benar baik.
Setelah makan tak terasa matahari sudah berganti dengan bulan, aku kembali ke kamar dengan masih memikirkan hal yang telah menimpaku hari ini, kupandangi langit yang gelap, tak ada satu bintang pun saat itu. Kudengar suara derap kaki menghampiriku dan terdengar suara ketukan pintu.
Tok,tok,tok.... “Wi, bolehkah aku masuk?”, terdengar suara Nuha.
“Ya masuklah..”, jawabku.
“Ehm.. besok aku akan ke desamu lagi untuk bantu-bantu di sana dan memberikan sumbangan, apakah kamu mau ikut denganku?”, ajak Nuha.
“Iya aku mau ikut”, kataku sambil menganggukan kepala.
“Oke, sekarang kamu istirahat ya biar cepat sembuh.. jangan memikirkan kejadian itu lagi, doakan saja orangtuamu agar mereka dapat tempat yang baik disisi Allah SWT.”, nasehatnya kepadaku.
“Iya terimaksih Nuha, keluargamu dan kamu sudah sangat baik padaku ka selalu memberi semangat padaku.”, jawabku.
“Sudahlah kudengar dari tadi kau berterimakasih terus padaku dan keluargaku, apakau tidak capek? Hehehe....”, kata Nuha.
“Hehehe.. kau bisa saja, baiklah kau akan terus di sini atau membiarkanku beristirahat?”, membalas ejekannya.
“Okelah silahkan istirahat Dewi,..”, jawabku.
                                                            ***
 Bulan pergi dan Matahari sudah kembali ketempatnya. Aku sudah ada di tempat pengungsian korban bencana alam. Aku mendengar ada yang memanggilku dan Nuha.
“Dewi... Nuha...”
Nuha dan Aku menengok ke sebuah tenda bersama, kulihat ternyata Ita dan Bunga.
“Apa yang akan kalian lakukan di sini?”, tanya Nuha kepada Ita dan Bunga.
“Kami mau mendonorkan darah,  Hima juga ada di sini”, jawab Ita.
“Iya dia ada di tenda pengungsian, dia menghibur anak-anak katanya dia kasihan kepada mereka. Oyya Wi, bagaimana keadaanmu sekarang apakah ada yang serius lukanya dan kami juga turut berduka ya? ”, tanya Bunga kepadaku.
“Aku baik-baik saja dan itu memang sudah takdir Allah, lagian Nuha dan keluarganya juga merawatku sangat baik, iyakan Nuha?”, jawabku dengan meringis sambil mencolek Nuha.
“Iya tentu... Gue gitu loh...”, jawab Nuha.
Kami tertawa bersama, entah mengapa jika aku berkumpul dengan mereka kesedihanku bisa hilang begitu saja. Tiba giliran Bunga dan Ita donor darah.
“Wah udah giliran kita nih, ayo masuk!”, ajak Bunga.
“Iya udah kami masuk dulu ya, nanti kita kumpul di tenda pengungsian ya bantu Hima”, ujar Ita.
“Siiph,”, jawabku dan Nuha serentak.
Aku dan Nuha pergi ketempat penyumbangan setelah itu kami pergi ke tenda pengungsian untuk membantu Hima.
            “Hima...” , panggil Nuha.
            “Oya kemarilah..” jawab Hima.
            “Gimana keadaanmu Wi, aku turut berduka ya?”, tanya Hima sambil memelukku.
            “Alhamdulillah aku baik-baik saja dan itu memang sudah takdir Allah, wah ternyata di sini banyak sekali anak kecil ya?”, jawabku sambil melihat anak-anak di sekelilingku.
            “Iya, orang tua mereka juga sudah tiada aku kasihan pada mereka karena mereka masih kecil-kecil maka dari itu aku ke sini untuk menghibur mereka.Kau jangan bersedih karena lihat mereka, mereka saja bisa tertawa bahagia meskipun orang tua mereka sudah tiada”, kata Hima
“Iya Wi, sekarangkan juga ada kami yang menemanimu.”, tiba-tiba Bunga dan Ita muncul.
            “Iya kalian benar, Alhamdulillah Allah masih menyayangiku, buktinya teman-temanku selalu ada untukku”, jawabku dengan senyum bahagia. 
Aku melihat mereka satu persatu, mereka membuatku lebih bersyukur pada Allah atas segala nikmatNya, pelajaran yang kudapatkan, aku harus lebih peduli terhadap sesama tanpa memilih mana yang lebih cocok denganku. Terima kasih ya Allah telah membuatku tersenyum kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar