"Secercah Senyuman"
Selangkah demi selangkah kan kulalui dengan
sebuah senyuman. Pagi ini aku masuk sekolah
seperti biasanya, masih dengan senyuman ayah, mama, dan kakak ketika
berpamitan.
“Woyyy! Temen-temen lihat nih! Aku punya video K-pop baru lo, lihat nih ada BTS, Super
Junior, EXO, masih banyak lagi deh!” kata Ita. Ita salah satu sahabatku yang gila K-Pop alias penggemar korean pop .
Apalagi
yang namanya Bunga, sahbatku yang koleksi
barang-barang K-Popnya waw nggak diragukan lagi.
“Bunga, itu tas apa gantungan kunci sih, kok banyak banget
gantungan kuncinya, aduuhhh.... gambarnya artis-artis Korea lagi, capek deh”.
Ocehku padanya.
Waktu itu ada konser di Jakarta, dari
ribuan penggemarnya dia yang pertama kali mendapatkan tiket dengan harga yang
lumayan mahal, bagi kantong para siswa yang
sekarang ini dilanda kenaikan BBM.
“Memang si Bunga, kalau masalah K-Pop aja nomor satu, giliran
pelajaran...hemmhhh, nggak tau deh!”, gumamku padanya.
“Nuha,
sini deh! Kamu tahu nggak kemarin tuh
aku kan lihat TV , aku seneng banget ehh, tenyata novel yang kubaca
ditayangin di TV, haduuh,, ceritanya bagus banget so sweet bingiiitz!!”, ujar
Hima pada Nuha.
Dalam hati aku berkata, “ Hidihhh,
kutu buku sih bagus tapi yang dibaca jangan cuma komik sama novel doang kelles, pelajran
juga.”
Ya memang begitu sahabat-sahabatku mereka unik-unik,
mereka orangnya asik nggak ngejenuhin. Walaupun terkadang suka aneh-aneh, tapi
aku sayang pada mereka.
***
Kami semua terdiam saat salah seorang guru memasuki
ruang kelas kami.
“ Assalamu’alaikum.., maaf anak-anak hari
ini bu Lia akan pergi ke Depag merapatkan suatu hal, oleh karena itu Ibu beri
tugas besok istirahat pertama tolong dikumpulkan di meja Ibu, paham anak-anak?” kata bu Lia.
Dengan kompak kami menjawab “ Paham, buuuu
Liiiiaaaa....!!”
Inilah yang
tidak aku suka, beliau memberi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam
waktu sehari, jadi besok harus dikumpulkan dan kebetulan aku sekelompok dengan
Nuha.
“Hahhh,, Untung aku seklompok dengan Nuha
karena dia tidak banyak tau hal tentang K-Pop, mungkin saja jika aku sekelompok
dengan Ita ataupun Bunga, pasti mereka membicarakan tentang K-Pop aja.”, aku
menghela napas lega.
***
“Wi,
gimana tugas kita, besok harus dikumpulkan ke bu Lia, padahal tugasnya
buaaanyaaak banget.” , kata Nuha padaku.
“Ok, gini aja gimana kalau kita ngerjainnya
itu di rumahku, kan rumahku nggak jauh dari sini, kalau rumahmu kan jauh dari
sekolahan.”, kataku.
“Emmh, gimana ya??? Ya coba nanti ku
tanyakan pada orang tuaku dulu, nanti kalau boleh aku telpon kamu.”, Nuha masih
bingung.
Teeetttttt, teeetttt, tetttt.. belpun berbunyi,
pertanda bahwa waktunya pulang. Akupun
segera pulang. Sesampainya di rumah aku langsung istirahat, sambil
membuka buku tugas .
“Kriiiiiiiiing.... hallo..Assalamu’alaikum,
Emhhh, kamu bisa menginap di rumahku, ok deh aku tunggu di rumah ya.”, kataku
pada Nuha.
Beberapa jam kemudian Nuha datang bersama dengan
ayahnya, beliau berpesan padaku, “Nak, nanti kalau ada apa-apa telpon bapak,
saya langsung pulang dulu titip Nuha ya, kerjain tugasnya yang sungguh-sunguh
biar cepat selesai.”
“Iya pak, terima kasih hati-hati ya pak.”, jawabku
pada ayah Nuha.
***
Setelah menyelesaikan tugas yang lumayan
banyak kami terlelap dalam kehangatan derasnya hujan
malam sejak sore tadi.
“Kretek...kretek Bruuuuuughhh.,,! Aaaaaa.... tidakk!!”, jeritan
Nuha.
Ternyata
rizki kami ditunda, musibah melanda desaku. Bingung, ketegangan, kalut, kesedihan tumpah
menjadi
satu. Tanah dari longsoran gunung di desaku menimbun dan
menyelimuti rumah-rumah disekitarnnya. Aku tak
pernah mengira kejadian ini tersurat untuk kami, hingga pagipun datang. Mata
yang terpejam sejenak, kini terbuka kembali.
“Tolong tolong tolong aku, badanku tertimbun tanah tidak bisa
keluar. Ya Allah tolong hamba ya Allah,
ayah, ibu, kakak dimana kalian tolong aku”, teriakku.
Tak
satu orangpun ku lihat. Tiba-tiba ada suara teriakan yang memanggil namaku.
“ Wi.. Dewi, Wi.. kamu dimana, apakah kamu
mendengarku”? teriak Nuha.
“Nuha..aku disini, tolong aku..! aku
tertimpa rerutuhan rumah, tolong aku..!” teriakku dengan lantang.
“Sebentar, bertahanlah aku akan segara memolongmu!”,
kata Nuha.
Dia menghampiri dan menolongku, kulihat badan Nuha
lecet-lecet serta luka memar pada tangannya.
“Apakah kamu baik-baik saja Wi ? kan ku coba
singkirkan reruntuhan ini dari tubuhmu”.
Setelah aku berhasil keluar dari reruntuhan tersebut, kamipun bergegas mencari keluargaku.
Akibat longsor yang terjadi aku kehilangan
keluargaku. Ayah dan Ibuku tertimpa reruntuhan bangunan, sedangkan Kakakku
hilang tertimbun tanah dan belum ditemukan keberadaannya. Mengetahui itu semua
aku merasa seperti sedang bermimpi karena
tidak percaya telah kehilangan orang-orang yang sangat aku sayang
secepat ini. Rasanya baru kemarin aku masih bisa merasakan lezatnya masakan seorang ibu.
Mendengar cerita-cerita seru dari ayah. Mendengar
ocehan kakak yang super cerewet, tak kusangka butiran bening jatuh membasahi pipiku, aku hanya bisa meronta-ronta
histeris saat kudengar kabar bahwa orang tua dan kakakku yang tertimpa
reruntuhan bangunan serta tanah diperkirakan tak bernyawa lagi, saat itu
kulihat Nuha berusaha menenangkanku. Nuha memintaku untuk tinggal bersama
keluarganya untuk sementara, karena kota tempat tinggalnya cukup jauh dari
rumahku yang terkena bencana alam, jadi akan lebih aman.
Sorenya, aku
kembali menangis ketika mengingat kejadian yang aku alami hari ini.
“Aku tak percaya ini semua terjadi padaku, tapi apa daya aku harus menerima
takdir dari Allah”, kataku sambil terisak.
Aku
termenung membayangkan bagaimana aku tertawa bersama dengan keluargaku dulu.
Aku tegarkan hatiku dan kucoba menguatkan hatiku untuk tidak menyerah.
“Tidak! Aku tidak boleh terus begini! Aku percaya Allah tidak akan menguji
manusia lebih dari batas kemampuannya dan ini semua adalah yang terbaik
untukku.”, tegasku dalam hati.
Aku hapus air
mata yang membasahi pipiku. Aku segera keluar dari kamar baruku itu dan menuju
ketempat makan keluarga Nuha.Sungguh aku rindu ketika aku makan dimeja makan
bersama keluargaku. Lamunanku terbuyahkan oleh suara lembut yang tiba-tiba
memanggilku.
“Dewi, bagaimana keadaanmu sekarang?”,tanya ibu Nuha dengan suaranya yang
lembut.
“Alhamdulillah, sekarang sudah mendingan”, kataku dengan senyuman yang agak
kupaksa.
“Makanlah yang banyak agar kau cepat sembuh, jangan kau bersedih Tante
yakin ayah dan ibumu akan sedih juga jika melihatmu seperti ini. Dan kamu boleh
memanggil Tante dengan Ibu, karena kami sudah menggap kamu sebagai keluarga
kami juga.”, kata ibu Nuha.
“Iya Dewi kamu juga boleh panggil Om sebagai Ayah..”, tambah ayah Nuha.
“Terimakasih Om, Tante atas bantuan..”, belum selesai ku berucap.
“Sudah Om bilang panggil saja Ayah...”, ayah Nuha menyela.
“Ehm.. iya A..a..ayah, I..i..ibu terimakasih atas semua bantuan yang telah
Aaayah dan Iiibu berikan kepada saya.”, kataku dengan senyuman bahagia karena
telah mendapatkan keluarga baru yang benar-benar baik.
Setelah
makan tak terasa matahari sudah berganti dengan bulan, aku kembali ke kamar
dengan masih memikirkan hal yang telah menimpaku hari ini, kupandangi langit
yang gelap, tak ada satu bintang pun saat itu. Kudengar suara derap kaki
menghampiriku dan terdengar suara ketukan pintu.
Tok,tok,tok.... “Wi, bolehkah aku masuk?”, terdengar suara Nuha.
“Ya masuklah..”, jawabku.
“Ehm.. besok aku akan ke desamu lagi untuk bantu-bantu di sana dan
memberikan sumbangan, apakah kamu mau ikut denganku?”, ajak Nuha.
“Iya aku mau ikut”, kataku sambil menganggukan kepala.
“Oke, sekarang kamu istirahat ya biar cepat sembuh.. jangan memikirkan
kejadian itu lagi, doakan saja orangtuamu agar mereka dapat tempat yang baik
disisi Allah SWT.”, nasehatnya kepadaku.
“Iya terimaksih Nuha, keluargamu dan kamu sudah sangat baik padaku ka
selalu memberi semangat padaku.”, jawabku.
“Sudahlah kudengar dari tadi kau berterimakasih terus padaku dan
keluargaku, apakau tidak capek? Hehehe....”, kata Nuha.
“Hehehe.. kau bisa saja, baiklah kau akan terus di sini atau membiarkanku
beristirahat?”, membalas ejekannya.
“Okelah silahkan istirahat Dewi,..”, jawabku.
***
Bulan pergi dan Matahari sudah kembali
ketempatnya. Aku sudah ada di tempat pengungsian korban bencana alam. Aku
mendengar ada yang memanggilku dan Nuha.
“Dewi... Nuha...”
Nuha dan Aku
menengok ke sebuah tenda bersama, kulihat ternyata Ita dan Bunga.
“Apa yang akan kalian lakukan di sini?”, tanya Nuha kepada Ita dan Bunga.
“Kami mau mendonorkan darah, Hima juga ada di sini”, jawab Ita.
“Iya dia ada di tenda pengungsian, dia menghibur anak-anak katanya dia
kasihan kepada mereka. Oyya Wi, bagaimana keadaanmu sekarang apakah ada yang
serius lukanya dan kami juga turut berduka ya? ”, tanya Bunga kepadaku.
“Aku baik-baik saja dan itu memang sudah takdir Allah, lagian Nuha dan
keluarganya juga merawatku sangat baik, iyakan Nuha?”, jawabku dengan meringis
sambil mencolek Nuha.
“Iya tentu... Gue gitu loh...”, jawab Nuha.
Kami tertawa
bersama, entah mengapa jika aku berkumpul dengan mereka kesedihanku bisa hilang
begitu saja. Tiba giliran Bunga dan Ita donor darah.
“Wah udah giliran kita nih, ayo masuk!”, ajak Bunga.
“Iya udah kami masuk dulu ya, nanti kita kumpul di tenda pengungsian ya
bantu Hima”, ujar Ita.
“Siiph,”, jawabku dan Nuha serentak.
Aku dan Nuha
pergi ketempat penyumbangan setelah itu kami pergi ke tenda pengungsian untuk
membantu Hima.
“Hima...” , panggil Nuha.
“Oya kemarilah..” jawab Hima.
“Gimana keadaanmu Wi, aku turut
berduka ya?”, tanya Hima sambil memelukku.
“Alhamdulillah aku baik-baik saja
dan itu memang sudah takdir Allah, wah ternyata di sini banyak sekali anak
kecil ya?”, jawabku sambil melihat anak-anak di sekelilingku.
“Iya, orang tua mereka juga sudah
tiada aku kasihan pada mereka karena mereka masih kecil-kecil maka dari itu aku
ke sini untuk menghibur mereka.Kau jangan bersedih karena lihat mereka, mereka
saja bisa tertawa bahagia meskipun orang tua mereka sudah tiada”, kata Hima
“Iya Wi, sekarangkan juga ada kami yang menemanimu.”, tiba-tiba Bunga dan
Ita muncul.
“Iya kalian benar, Alhamdulillah
Allah masih menyayangiku, buktinya teman-temanku selalu ada untukku”, jawabku
dengan senyum bahagia.
Aku melihat mereka satu persatu, mereka membuatku lebih bersyukur pada
Allah atas segala nikmatNya, pelajaran yang kudapatkan, aku harus lebih peduli
terhadap sesama tanpa memilih mana yang lebih cocok denganku. Terima kasih ya
Allah telah membuatku tersenyum kembali.